Danau Maninjau adalah sebuah danau vulkanik yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Danau dengan luas sekitar 99,5 km2 dengan kedalaman mencapai 495 meter ini merupakan danau terluas kesebelas di Indonesia, dan terluas kedua di Sumatra Barat. Menurut cerita, Danau Maninjau pada awalnya merupakan gunung berapi yang di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas. Oleh karena ulah manusia, gunung berapi itu meletus dan membentuk sebuah danau yang luas.
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatera Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungaan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada disekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Disalah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan laki-laki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa menyebutnya BUJANG SEMBILAN. Kesepuluh bersaudara itu adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu bernama Siti Rasani, yang biasa di panggil Sani. Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan berada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal disebuah rumah peninggalan orang tua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan orang tua mereka. Mereka sangat terampil bertani. Di samping itu mereka juga dibimbing seorang mamak atau adik laki-laki dari ibu mereka yaitu Datuak Limbatang. Yang biasa dipanggil Angku.
Datuak Limbatang adalah seorang pangulu di sukunya dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai pangulu Datuak Limbatang mempunyai kewajiban pada warganya, dan tentunya pada kesepuluh orang kemenakannya itu. Untuk itu ia sering mengunjungi rumah Bujang Sambilan untuk mengingatkan atau mengajari kemenakannya. Tak jarang pula ia membawa istri dan anaknya bersamanya.
Singkat cerita pada suatu hari Datuak Limbatan bersama istri dan anaknya Giran berkunjung ke rumah Bujang Sambilan, secara tak sengaja Giran dan Sani saling berpandangan. Rupanya kedua pemuda-pemudi itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah lading di pinggir sungai. Dengan hati berdebar Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“ Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang,
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“ Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar,
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“ Rupa elok perangai pun cantik
Hidupnya suka berbuat baik,
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik"
Mendengar itu Sani bahagia karena ia juga suka pada Giran. Maka ia pun juga membalasnya denga untaian pantun.
“ Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur,
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“ Jika roboh Kota Malaka
Papan di Jawa saya tegakkan,
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nynawa saya serahkan”
Alangkah senag hati Giran mendengar jawaban Sani. Ia benar-benar meras bahagia karena cintanya bersambut.
Maka sejak itu Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena merasa khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat memperat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung kerumah Bujang Sambilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sambilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampong menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Malintang dan Giran mengambil bagian dari acara tersebut.
Pada hari yang di tentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara akan di mulai. Rupanya, Malintang mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawan berasal dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Malintang berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu persatu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Malintang, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Malintang, Giran secara bertubi-tubi melakukan serangan pada Malintang tapi semuanya mampu di elakkan Malintang. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Malintang yang balik menyerang dengan jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Malintang melayangkan sebuah tendangan keras ke kakinya Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…..! kakiku patah!” pekik Malintang dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang itu. Sejak itu, Malintang merawsa kesal dan dendam terhadap Giran. Karen merasa kesal telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendamnya itu dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Malintang yang di pendam dalam hati iu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuak Limbatang bersama istrinya berkunjung kerumah Bujang sambilan. Kedatangan mereka itu bukan dengan tujuan seperti biasanya, melainkan untuk menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“ Maaf, Bujang Sambilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita.” Ungkap Datuak Limbatang.
“ Apa maksud, Angku?” Tanya si Kudun bingung.
“ Iya, angku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” Sambung Kaciak.
“ Memang benar yang kamu katakana itu, Anakku,” jawab Datuak Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sambilan seperti anaknya sendiri.
“ Begini,, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran denga adik bungsu kalian, Siti Rasani,” Ungkap Datuak Limbatang.
“ Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Angku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras Malintang.
“ Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“ Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” Tanya Datuak Limbatang dengan tenang.
“ Ada, Angku! Maih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Malintang sambil menyinsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“ Oooh, itu!” jawab Datuak Limbatang singkat sambil tersenyum.
“ Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggang itu biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuak Limbatang.
“ Tapi, Angku! Anak angku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Malintang.
“ Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“ Ah, itu kata Angku, karena ingin membela anak sendiri! Dimana keadilan Angku sebagai pemimpin adat?” bantah Malintang sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yan berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“ Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran.” Ujar Datuk Limbatang.
“ Kebenaran apalagi yang Angku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“ Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” Tanya Datuak Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuak Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“ Terserah Angku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Angku,” kata Malintang dengan ketus.
“ Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kat Datuak Limbatang seraya berpamitan pulang pada Bujang Sambilan.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar keputusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu , Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalan keluar bagi masalaha yang dihadapinya. Begitu pula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berfikir, namun belum juga menemukan jalan keluarnya. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“ Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“ Wah, sepetinya pahamu tergores duri. Duduklah adik, abang akan mengobati lukamu itu!” Ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saaat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sambilan bersama beberapa warga lainnya.
“ Hei, rupanya kalian disini!” seru Malintang
Giran dan sani tak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“ tangkap mereka! Kita bawa mereka ke siding adat!” perintah Malintang
“ Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri” kata Giran.
“ Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kau mengusap-usap paha adikku!” bentak Malintang
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ruang persidangan. Malintang bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberikan kesaksian bahwa merka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu Datuak Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang kekawah Gunung Tinjau agar kampung itu terhindar dari malapetaka.
Keputusan pun diumumkan keseluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawak, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“ Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“ Ya Tuhan! Mohon dngar dan kabulkan do’a kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah ggunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sambilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan do’a, Giran dan Sani segera melompat kedalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air awah. Sebagian orang yang menyaksikan peritiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan do’anya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar, permohonan Giran dikabulkan oleh tuhan. Beberapa saat berselang, gunung tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju perkampungan dan menghancurkan semua yang di lewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sambilan pun menjelma menjadi ikan.
Konon letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar , nama gunung di abadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari disekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok/Bancah, Kukuban, dan Sungai Batang.
Alkisah, di sebuah daerah di Sumatera Barat ada sebuah gunung berapi yang amat tinggi bernama Gunung Tinjau. Di puncaknya terdapat sebuah kawah yang luas, dan di kakinya terdapat beberapa perkampungaan. Penduduknya hidup makmur dan sejahtera, karena mereka sangat rajin bertani. Di samping itu, tanah yang ada disekitar Gunung Tinjau amat subur, karena sering mendapat pupuk alami berupa abu gunung.
Disalah satu perkampungan di kaki Gunung Tinjau itu tinggal sepuluh orang bersaudara yang terdiri dari sembilan laki-laki dan seorang perempuan. Penduduk sekitar biasa menyebutnya BUJANG SEMBILAN. Kesepuluh bersaudara itu adalah Kukuban, Kudun, Bayua, Malintang, Galapuang, Balok, Batang, Bayang, dan lelaki termuda bernama Kaciak. Sementara adik mereka yang paling bungsu bernama Siti Rasani, yang biasa di panggil Sani. Kedua orang tua mereka sudah lama meninggal, sehingga Kukuban sebagai anak sulung menjadi kepala rumah tangga. Semua keputusan berada di tangannya.
Kesepuluh bersaudara tersebut tinggal disebuah rumah peninggalan orang tua mereka. Untuk memenuhi kebutuhannya, mereka menggarap lahan pertanian yang cukup luas warisan orang tua mereka. Mereka sangat terampil bertani. Di samping itu mereka juga dibimbing seorang mamak atau adik laki-laki dari ibu mereka yaitu Datuak Limbatang. Yang biasa dipanggil Angku.
Datuak Limbatang adalah seorang pangulu di sukunya dan mempunyai seorang putra yang bernama Giran. Sebagai pangulu Datuak Limbatang mempunyai kewajiban pada warganya, dan tentunya pada kesepuluh orang kemenakannya itu. Untuk itu ia sering mengunjungi rumah Bujang Sambilan untuk mengingatkan atau mengajari kemenakannya. Tak jarang pula ia membawa istri dan anaknya bersamanya.
Singkat cerita pada suatu hari Datuak Limbatan bersama istri dan anaknya Giran berkunjung ke rumah Bujang Sambilan, secara tak sengaja Giran dan Sani saling berpandangan. Rupanya kedua pemuda-pemudi itu sama-sama menaruh hati. Giran pun mengajak Sani untuk bertemu di sebuah lading di pinggir sungai. Dengan hati berdebar Giran pun mengungkapkan perasaannya kepada Sani.
“ Sudah lama merendam selasih
Barulah kini mau mengembang,
Sudah lama kupendam kasih
Barulah kini bertemu pandang”
“ Telah lama orang menekat
Membuat baju kebaya lebar,
Sudah lama abang terpikat
Hendak bertemu dada berdebar”
“ Rupa elok perangai pun cantik
Hidupnya suka berbuat baik,
Orang memuji hilir dan mudik
Siapa melihat hati tertarik"
Mendengar itu Sani bahagia karena ia juga suka pada Giran. Maka ia pun juga membalasnya denga untaian pantun.
“ Buah nangka dari seberang
Sedap sekali dibuat sayur,
Sudah lama ku nanti abang
Barulah kini dapat menegur”
“ Jika roboh Kota Malaka
Papan di Jawa saya tegakkan,
Jika sungguh Kanda berkata
Badan dan nynawa saya serahkan”
Alangkah senag hati Giran mendengar jawaban Sani. Ia benar-benar meras bahagia karena cintanya bersambut.
Maka sejak itu Giran dan Sani menjalin hubungan kasih. Pada mulanya, keduanya berniat untuk menyembunyikan hubungan mereka. Namun karena merasa khawatir akan menimbulkan fitnah, akhirnya keduanya pun berterus terang kepada keluarga masing-masing. Mengetahui hal itu, keluarga Giran dan Sani pun merasa senang dan bahagia, karena hal tersebut dapat memperat hubungan kekeluargaan mereka. Sejak menjalin hubungan dengan Sani, Giran seringkali berkunjung kerumah Bujang Sambilan. Bahkan, ia sering membantu Bujang Sambilan bekerja di sawah.
Ketika musim panen tiba, semua penduduk kampung memperoleh hasil melimpah. Untuk merayakan keberhasilan tersebut, para pemuka adat dan seluruh penduduk bersepakat untuk mengadakan gelanggang perhelatan, yaitu adu ketangkasan bermain silat. Para pemuda kampong menyambut gembira acara tersebut. Dengan semangat berapi-api, mereka segera mendaftarkan diri kepada panitia acara. Tidak ketinggalan pula Malintang dan Giran mengambil bagian dari acara tersebut.
Pada hari yang di tentukan, seluruh peserta berkumpul di sebuah tanah lapang. Sorak sorai penonton pun terdengar mendukung jagoannya masing-masing. Beberapa saat kemudian, panitia segera memukul gong pertanda acara akan di mulai. Rupanya, Malintang mendapat giliran pertama tampil bersama seorang lawan berasal dari dusun tetangga. Tampak keduanya saling berhadap-hadapan di tengah arena untuk saling adu ketangkasan. Siapa pun yang menang dalam pertarungan itu, maka dia akan melawan peserta berikutnya. Ternyata, Malintang berhasil mengalahkan lawannya. Setelah itu, peserta berikutnya satu persatu masuk ke arena gelanggang perhelatan untuk melawan Malintang, namun belum seorang pun yang mampu mengalahkannya. Masih tersisa satu peserta lagi yang belum maju, yakni si Giran. Kini, Kukuban menghadapi lawan yang seimbang.
Maka terjadilah pertarungan sengit antara Giran dan Malintang, Giran secara bertubi-tubi melakukan serangan pada Malintang tapi semuanya mampu di elakkan Malintang. Beberapa saat kemudian, keadaan jadi terbalik. Malintang yang balik menyerang dengan jurus andalannya secara bertubi-tubi. Giran pun terdesak dan kesulitan menghindari serangannya. Pada saat yang tepat, Malintang melayangkan sebuah tendangan keras ke kakinya Giran. Giran yang tidak mampu lagi menghindar, terpaksa menangkisnya dengan kedua tangannya.
“Aduh, sakit…..! kakiku patah!” pekik Malintang dan langsung berguling di tanah sambil menjerit kesakitan.
Rupanya, tangkisan Giran itu membuat kaki kirinya patah. Ia pun tak mampu lagi melanjutkan pertandingan dan dinyatakan kalah dalam gelanggang itu. Sejak itu, Malintang merawsa kesal dan dendam terhadap Giran. Karen merasa kesal telah dipermalukan di depan umum. Namun, dendamnya itu dipendamnya dalam hati.
Beberapa bulan kemudian, dendam Malintang yang di pendam dalam hati iu akhirnya terungkap juga. Hal itu bermula ketika suatu malam, yakni ketika cahaya purnama menerangi perkampungan sekitar Gunung Tinjau, Datuak Limbatang bersama istrinya berkunjung kerumah Bujang sambilan. Kedatangan mereka itu bukan dengan tujuan seperti biasanya, melainkan untuk menyampaikan pinangan Giran kepada Sani.
“ Maaf, Bujang Sambilan! Maksud kedatangan kami kemari ingin lebih mempererat hubungan kekeluargaan kita.” Ungkap Datuak Limbatang.
“ Apa maksud, Angku?” Tanya si Kudun bingung.
“ Iya, angku! Bukankah hubungan kekeluargaan kita selama ini baik-baik saja?” Sambung Kaciak.
“ Memang benar yang kamu katakana itu, Anakku,” jawab Datuak Limbatang yang sudah menganggap Bujang Sambilan seperti anaknya sendiri.
“ Begini,, Anak-anakku! Untuk semakin mengeratkan hubungan keluarga kita, kami bermaksud menikahkan Giran denga adik bungsu kalian, Siti Rasani,” Ungkap Datuak Limbatang.
“ Pada dasarnya, kami juga merasakan hal yang sama, Angku! Kami merasa senang jika Giran menikah dengan adik kami. Giran adalah pemuda yang baik dan rajin,” sambut si Kudun.
Namun, baru saja kalimat itu lepas dari mulut si Kudun, tiba-tiba terdengar suara bentakan yang sangat keras Malintang.
“ Dia pemuda sombong, tidak tahu sopan santun dan kurang ajar. Dia tidak pantas menjadi suami Sani,” tambahnya.
“ Mengapa kamu berkata begitu, Anakku? Adakah perkataan atau perilakunya yang pernah menyinggung perasaanmu?” Tanya Datuak Limbatang dengan tenang.
“ Ada, Angku! Maih ingatkah tindakan Giran terhadapku di gelanggang perhelatan beberapa bulan yang lalu? Dia telah mematahkan kaki kiriku dan sampai sekarang masih ada bekasnya,” jawab Malintang sambil menyinsingkan celana panjangnya untuk memperlihatkan bekas kakinya yang patah.
“ Oooh, itu!” jawab Datuak Limbatang singkat sambil tersenyum.
“ Soal kaki terkilir dan kaki patah, kalah ataupun menang dalam gelanggang itu biasa. Memang begitu kalau bertarung,” ujar Datuak Limbatang.
“ Tapi, Angku! Anak angku telah mempermalukanku di depan orang banyak,” sambut Malintang.
“ Aku kira Giran tidak bermaksud mempermalukan saudaranya sendiri,” kata Datuk Limbatang.
“ Ah, itu kata Angku, karena ingin membela anak sendiri! Dimana keadilan Angku sebagai pemimpin adat?” bantah Malintang sambil menghempaskan tangannya ke lantai.
Semua yang ada dalam pertemuan itu terdiam. Kedelapan saudaranya tak satu pun yan berani angkat bicara. Suasana pun menjadi hening dan tegang. Kecuali Datuk Limbatang, yang terlihat tenang.
“ Maaf, Anakku! Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya mengatakan kebenaran. Keadilan harus didasarkan pada kebenaran.” Ujar Datuk Limbatang.
“ Kebenaran apalagi yang Angku maksud. Bukankah Giran telah nyata-nyata mencoreng mukaku di tengah keramaian?”
“ Ketahuilah, Anakku! Menurut kesaksian banyak orang yang melihat peristiwa itu, kamu sendiri yang menyerang Giran yang terdesak dengan sebuah tendangan keras, lalu ditangkis Giran. Tangkisan itulah yang membuat kakimu patah. Apakah menurutmu menangkis serangan itu perbuatan curang dan salah?” Tanya Datuak Limbatang.
Kukuban hanya terdiam mendengar pertanyaan itu. Walaupun dalam hatinya mengakui bahwa apa yang dikatakan Datuak Limbatang adalah benar, tetapi karena hatinya sudah diselimuti perasaan dendam, ia tetap tidak mau menerimanya.
“ Terserah Angku kalau tetap mau membela anak sendiri. Tapi, Sani adalah adik kami. Aku tidak akan menikahkan Sani dengan anak Angku,” kata Malintang dengan ketus.
“ Baiklah, Anakku! Aku juga tidak akan memaksamu. Tapi, kami berharap semoga suatu hari nanti keputusan ini dapat berubah,” kat Datuak Limbatang seraya berpamitan pulang pada Bujang Sambilan.
Rupanya, Siti Rasani yang berada di dalam kamar mendengar semua pembicaraan mereka. Ia sangat bersedih mendengar keputusan kakak sulungnya itu. Baginya, Giran adalah calon suami yang ia idam-idamkan selama ini. Sejak kejadian itu , Sani selalu terlihat murung. Hampir setiap hari ia duduk termenung memikirkan jalan keluar bagi masalaha yang dihadapinya. Begitu pula si Giran, memikirkan hal yang sama. Berhari-hari kedua pasangan kekasih itu berfikir, namun belum juga menemukan jalan keluarnya. Akhirnya, keduanya pun sepakat bertemu di tempat biasanya, yakni di sebuah ladang di tepi sungai, untuk merundingkan masalah yang sedang mereka hadapi.
Beberapa lama mereka berunding di tepi sungai itu, namun belum juga menemukan jalan keluar. Dengan perasaan kalut, Sani beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba sepotong ranting berduri tersangkut pada sarungnya.
“ Aduh, sarungku sobek!” teriak Sani kaget.
“ Wah, sepetinya pahamu tergores duri. Duduklah adik, abang akan mengobati lukamu itu!” Ujar Giran.
Giran pun segera mencari daun obat-obatan di sekitarnya dan meramunya. Setelah itu, ia membersihkan darah yang keluar dari paha Sani, lalu mengobati lukanya. Pada saaat itulah, tiba-tiba puluhan orang keluar dari balik pepohonan dan segera mengurung keduanya. Mereka adalah Bujang Sambilan bersama beberapa warga lainnya.
“ Hei, rupanya kalian disini!” seru Malintang
Giran dan sani tak tahu harus berbuat apa. Keduanya benar-benar tidak menyangka jika ada puluhan orang sedang mengintai gerak-gerik mereka.
“ tangkap mereka! Kita bawa mereka ke siding adat!” perintah Malintang
“ Ampun, Bang! Kami tidak melakukan apa-apa. Saya hanya mengobati luka Sani yang terkena duri” kata Giran.
“ Dasar pembohong! Aku melihat sendiri kau mengusap-usap paha adikku!” bentak Malintang
Akhirnya, Giran dan Sani digiring ke kampung menuju ruang persidangan. Malintang bersama kedelapan saudaranya dan beberapa warga lainnya memberikan kesaksian bahwa merka melihat sendiri perbuatan terlarang yang dilakukan Giran dan Sani. Meskipun Giran dan Sani telah melakukan pembelaan dan dibantu Datuak Limbatang, namun persidangan memutuskan bahwa keduanya telah melanggar adat yang berlaku di kampung itu. Perbuatan mereka sangat memalukan dan dapat membawa sial. Maka sebagai hukumannya, keduanya harus dibuang kekawah Gunung Tinjau agar kampung itu terhindar dari malapetaka.
Keputusan pun diumumkan keseluruh penjuru kampung di sekitar Gunung Tinjau. Setelah itu, Giran dan Sani diarak menuju ke puncak Gunung Tinjau dengan tangan terikat di belakang. Sesampainya di pinggir kawak, mata mereka ditutup dengan kain hitam. Sebelum hukuman dilaksanakan, mereka diberi kesempatan untuk berbicara.
“ Wahai kalian semua, ketahuilah! Kami tidak melakukan perbuatan terlarang apa pun. Karena itu, kami yakin tidak bersalah,” ucap Giran.
Setelah itu, Giran menengadahkan kedua tanganya ke langit sambil berdoa.
“ Ya Tuhan! Mohon dngar dan kabulkan do’a kami. Jika kami memang benar-benar bersalah, hancurkanlah tubuh kami di dalam air kawah ggunung yang panas ini. Akan tetapi, jika kami tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sambilan menjadi ikan!”
Usai memanjatkan do’a, Giran dan Sani segera melompat kedalam kawah. Keduanya pun tenggelam di dalam air awah. Sebagian orang yang menyaksikan peritiwa itu diliputi oleh rasa tegang dan cemas. Jika Giran benar-benar tidak bersalah dan do’anya dikabulkan, maka mereka semua akan binasa. Ternyata benar, permohonan Giran dikabulkan oleh tuhan. Beberapa saat berselang, gunung tiba-tiba bergetar dan diikuti letusan yang sangat keras. Lahar panas pun menyembur keluar dari dalam kawah, mengalir menuju perkampungan dan menghancurkan semua yang di lewatinya. Semua orang berusaha untuk menyelamatkan diri. Namun, naas nasib mereka. Letusan Gunung Tinjau semakin dahsyat hingga gunung itu luluh lantak. Tak seorang pun yang selamat. Bujang Sambilan pun menjelma menjadi ikan.
Konon letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah yang luas dan lama-kelamaan berubah menjadi danau. Oleh masyarakat sekitar , nama gunung di abadikan menjadi nama danau, yakni Danau Maninjau. Sementara nama-nama tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu diabadikan menjadi nama nagari disekitar Danau Maninjau, seperti Tanjung Sani, Sikudun, Bayua, Koto Malintang, Koto Kaciak, Sigalapuang, Balok/Bancah, Kukuban, dan Sungai Batang.
Komentar