BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggaraan
negara yang menyimpang dari Ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga
negara. Ketidakseimbangan ini terlihat
dari corak kekuasaan Presiden yang berlebihan (executive heavy).
Hal ini diperparah dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga negara lainnya
sebagaimana mestinya. Misalnya, lembaga legislatif yang terkesan hanya sebagai
lembaga “stempel” bagi kebijakan-kebijakan presiden (executive), dan
juga lembaga peradilan yang tidak mendapatkan kemerdekaan dan kemandirian dalam
menjalankan tugas dan fungsinya karena telah banyak intervensi eksekutif.
Ketidakpekaan
dan kesewenang-wenangan penyelenggara negara yang diperparah oleh
ketidakberdayaan lembaga negara lainnya telah membangkitkan gerakan reformasi
di seluruh tanah air.
Tekad
untuk memberantas segala bentuk penyelewengan pada awal bergulirnya reformasi
sesuai dengan tuntutan reformasi seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
dan penyalahgunaan kekuasaan, ternyata belum diikuti dengan langkah nyata dan
kesungguhan pemerintah serta aparat penegak hukum dalam penerapan dan penegakan
hukum. Terbukti masih terjadinya campur tangan kekuasaan dalam proses
peradilan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap hukum. Kondisi hukum yang demikian mengakibatkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta gerakan demokratisasi di
Indonesia mengalami stagnasi.
Hukum
bukan lagi dijadikan sarana untuk membela atau menegakan kebenaran dan
keadilan, melainkan hukum sudah dijadikan komoditi untuk dipertukarkan sebagai
alat pembayaran untuk membeli hal-hal yang justru untuk menentang kebenaran dan
keadilan.[1]
Masyarakat
sudah tidak percaya lagi pada lembaga-lembaga penegak hukum yang dianggap sudah
kehilangan integritas dan kredibilitasnya sebagai tempat untuk memperoleh
kebenaran dan keadilan, di sini supremasi hukum telah digantikan dengan supremasi massa.[2]
Keadaan
tersebut akhirnya memaksa bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi konstitusi
yang tiada lain adalah melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Sebab untuk melakukan suatu perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
harus diawali dengan perubahan terhadap konstitusi yang merupakan The Supreme Law dan
dasar pijakan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perubahan
(amandement) pertama Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan pada tanggal 19 Oktober
1999, kemudian pada tanggal 18 Agustus 2000 dilakukan perubahan kedua. Namun
dari sudut pandang konstitusi modern[3]
perubahan pertama dan kedua Undang-Undang Dasar 1945 masih belum menjawab
tuntutan reformasi dan masih belum menampung pemikiran-pemikiran hukum
ketatanegaraan yang berkembang yang menjadi kebutuhan konstitusional bangsa dan negara yang demokratis. Untuk
menjawab tuntutan reformasi seharusnya sebuah konstitusi menegaskan hal-hal
sebagai berikut :[4]
1. Penegasan Indonesia sebagai negara hukum
(Rechtstaat);
2. Pengakuan HAM yang mencakup hak sipil,
politik, ekonomi, sosial, budaya;
3. Sistem Check and balances antara
legislative, eksekutif, yudikatif serta pusat dan daerah;
4. Environmental rights
(hak Keamanan sosial).
Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan pada tanggal 9 November 2001,
akhirnya sedikit banyak dapat menjawab tuntutan reformasi terutama dalam bidang
hukum, yang salah satunya yaitu bahwa Indonesia telah menetapkan dirinya secara
tegas sebagai negara hukum. Hal itu dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945
setelah amandemen sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia khususnya dalam
Bab I Tentang Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum”
Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum, konsekuensi dari hal tersebut yaitu bahwa
Indonesia harus menegakan dan menjunjung tinggi supremasi
hukum dalam semua bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara, namun untuk berdiri tegaknya supremasi
hukum, konstitusi negara yang menjadi dasar bagi penegakan hukum itu sendiri
harus dilaksanakan dan dijalankan secara konsisten.
Menjaga
dan memelihara konstitusi sebagai dasar bagi penegakan supremasi hukum
merupakan syarat bagi berdiri tegaknya suatu negara hukum yang dicita-citakan,
sehingga diperlukan suatu lembaga independen dalam lingkungan kekuasaan
kehakiman untuk melaksanakan hal tersebut di atas demi terwujudnya Negara Hukum
Republik Indonesia.
Undang-Undang
Dasar 1945 setelah amandemen menganut paradigma pemisahan kekuasaan yang di
dalamnya terdapat mekanisme check and balances. Oleh karena pergeseran
paradigma tersebut, maka tidak ada lagi lembaga negara yang supreme terhadap
lembaga negara lainnya. Khusus bagi lembaga yudikatif pemisahan kekuasaan ini
mempunyai konsekuensi tersendiri yaitu adanya kekuasaan kehakiman yang bebas
dan mandiri, dengan demikian maka lembaga yudikatif ini melalui kekuasaan
kehakiman dapat melakukan Kontrol Yudisial terhadap penyelenggaraan negara.
Gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi tidak lain merupakan dorongan dalam
penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Setidaknya ada
empat hal yang melatarbelakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah
Konstitusi, yaitu :[5]
1. Sebagai implikasi dari paham
konstitusionalisme;
2. Mekanisme Check and balances;
3. Penyelenggaraan negara yang bersih;
4. Perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Mahkamah
Konstitusi dengan kewenangan yang dimilikinya secara teoritis, dibentuk dengan
maksud agar berfungsi sebagai lembaga yang memiliki otoritas di dalam
menafsirkan konstitusi, menyelesaikan sengketa antar lembaga negara yang sumber
kewenangannya dari konstitusi dan memberi putusan mengenai pemberhentian
presiden dan/ atau wakil presiden. Selain itu Mahkamah Konstitusi juga berperan
di dalam melakukan Judicialization of politics.[6]
Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman dapat melakukan
kontrol yudisial terhadap penyelenggaraan negara, yaitu dengan menguji
peraturan yang dibuat dan dikeluarkan oleh lembaga penyelenggara negara.
Pengujian ini juga dimaksudkan agar peraturan yang dikeluarkan tersebut tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar (droit
constitutionil).[7]
Sebab Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia
merupakan dasar pijakan dalam penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat
dari berdirinya negara hukum. Hal
tersebut menggambarkan bahwa fungsi Mahkamah Konstitusi selain sebagai lembaga
pelaksana kekuasaan kehakiman, juga sebagai The Guardian of the Constitution
(pengawal konstitusi),[8]
dengan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang
Dasar 1945.
Fungsi
pengawalan terhadap konstitusi ini pada negara hukum seperti Indonesia sangat
penting, sebab dalam negara hukum konstitusi harus dilaksanakan secara
konsekuen dan bertanggungjawab oleh setiap penyelenggara negara, sehingga
penegakan supremasi hukum dapat dilakukan sepenuhnya. Oleh karena itu
diperlukan lembaga yang mampu melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan
negara. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai The Guardian of the
Constitution dapat menjadi lembaga yang fundamental bahkan sentral dalam
mewujudkan Negara Hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan
Latar Belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul :
EKSISTENSI MAHAKAMAH KONSTITUSI DALAM MEWUJUDKAN NEGARA
HUKUM REPUBLIK INDONESIA
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis membatasi masalah
yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Bagaimana konsekuensi yuridis dari
dibatlkannya Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi terhadap pelaksanaan Judicial Review oleh Mahkamah
Konstitusi?
2. Bagaimanakah konsekuensi yuridis dari
tidak diintegrasikannya kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan
dibawah undang-undang kedalam kewenangan Mahkamah Konstitusi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan
permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu :
1. Untuk mengetahui mengenai konsekuensi
yuridis dari dibatlkannya Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan Judicial Review oleh Mahkamah
Konstitusi.
2. Untuk mengetahui mengenai konsekuensi
yuridis dari tidak diintegrasikannya kewenangan menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang kedalam kewenangan Mahkamah Konstitusi
D. Kegunaan Penelitian
Penulisan
ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik dari segi teoritis maupun dari
segi praktis, bagi yang ingin mengetahui peran Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman dalam mewujudkan Negara Hukum
Republik Indonesia, yakni sebagai berikut :
1. Kegunaan Secara Teoritis
a. Dapat menambah pengetahuan penulis di
bidang Ilmu Hukum secara umum dan bidang Ilmu Hukum Tata Negara pada khususnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memperluas dan memperkaya khasanah Ilmu
Hukum pada umumnya dan Ilmu Hukum Tata Negara pada khususnya dengan
mengembangkan teori-teori yang didapat penulis selama mengikuti perkuliahan.
c. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan
pertimbangan dan tambahan pengembangan wawasan di bidang Ilmu Hukum Tata
Negara.
2. Kegunaan Secara Praktis
a. Bagi lembaga negara, diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi pertimbangan dan memberikan sumbangan pemikiran
dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya.
b. Bagi lembaga pendidikan dan pengembangan
hukum diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pengetahuan,
khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Pasundan Program Studi Kebijakan
Hukum dan Politik, sebagai suatu sarana melakukan pengkajian masalah-masalah aktual
secara ilmiah dalam bidang Hukum Tata Negara.
E. Kerangka Pemikiran
Penulis
dalam kerangka pemikiran ini akan menguraikan beberapa teori yang berhubungan
dan mendukung konsepsi negara hukum (Rechtstaat), yang antara lain
meliputi teori negara hukum, teori kedaulatan (Sovereignity Theory),
teori demokrasi (Democratie Theory), teori kekuasaan negara, sistem check
and balances.
Negara
hukum umumnya diartikan sebagai negara dimana tindakan pemerintah maupun rakyat
didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya
tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah dan tindakan rakyat yang
dilakukan menurut kehendaknya sendiri. Rumusan mengenai konsep negara hukum sangat beragam, hal ini disebabkan
karena perbedaan asas negara hukum yang dianut, kondisi masyarakat dan zaman
saat perumusan negara hukum dicetuskan.
Immanuel Kant, memahami negara hukum sebagai Nachtwaker staat
atau Nachtwachterstaat (Negara jaga malam), yang tugasnya adalah menjamin
ketertiban dan keamanan masyarakat.[9]
Teori Immanuel Kant ini lebih cenderung kepada fungsi negara dalam memelihara
keamanan dan ketertiban individu dan masyarakat.
Pakar
negara hukum Eropa Friedrich Julius Stahl, berpandangan bahwa konsep negara hukum
berubah dan berkembang lebih luas. Selain sebagai penjaga malam, maka fungsi
negara juga ikut campur tangan dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya.[10]
Friedrich
Julius Stahl mengemukakan konsep negara
hukum sebagai berikut :[11]
“Negara harus menjadi negara hukum,
itulah semboyan dan sebenarnya juga menjadi daya pendorong bagi perkembangan
pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan
batas-batas kegiatannya sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara
menurut hukum itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat
ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi
negara, juga secara langsung tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut
suasana hukum.”
Konsep
negara hukum menurut F.J. Stahl tersebut menekankan pada keharusan negara untuk
menjadi negara hukum, dimana penyelenggara negara (pemerintah) dalam
menyelenggarakan negara harus terlebih dahulu menentukan kewenangan dan batas
kewenangannya tersebut sehingga tidak melanggar hak warga negara yang telah
diatur dalam hukum. Dengan kata lain bahwa negara hukum pada prinsipnya
menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang
jelas atau ada legalitasnya baik berdasarkan hukum tertulis maupun hukum tidak
tertulis.[12]
Sejalan
dengan konsep F.J. Stahl tersebut, Hans Kelsen mengargumentasikan empat syarat Rechtstaats,
dalam kaitannya dengan negara hukum yang juga merupakan negara demokratis,
yaitu :[13]
1. Negara yang kehidupannya sejalan dengan
konstitusi dan undang-undang yang proses pembuatannya dilakukan oleh parlemen.
Anggota-anggota parlemen itu sendiri dipilih langsung oleh rakyat;
2. Negara yang mengatur mekanisme
pertanggungjawaban atas setiap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh elit
negara;
3. Negara yang menjamin kemerdekaan
kekuasaan kehakiman;
4. Negara yang melindungi hak-hak asasi manusia.
Philipus M. Hadjon berpendapat bahwa negara hukum pada
umumnya merupakan negara yang mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama
yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.[14]
Hal ini didasarkan dari latar belakang negara hukum itu sendiri yang lahir dari
suatu usaha atau perjuangan menentang kesewenangan penguasa.[15]
Selain itu pendapat ini juga didasarkan pada prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia, dimana pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan
daripada negara hukum.[16]
Muji Estiningsih mengatakan bahwa negara hukum merupakan
suatu negara yang mendasarkan setiap kegiatannya pada hukum.[17]
Konstitusi sebagai dasar bagi penegakan supermasi hukum dalam negara hukum juga
dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan yang tidak terbatas dari pemerintah
(penyelenggara negara), agar penyelenggaraan negara tidak keluar dari jalur
hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, sebab dalam negara hukum segala
kegiatan yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun rakyat harus didasarkan
pada ketentuan hukum yang berlaku, bukan dilakukan menurut kehendak sendiri (Government of law, but not man).[18]
Indonesia
merupakan negara yang berdasarkan atas hukum, seperti yang telah dinyatakan
dalam Bab IX tentang Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 ayat (3), Undang-Undang
Dasar 1945 setelah amandemen, yang berbunyi :
“Negara Indonesia adalah
negara hukum”
Indonesia
adalah negara hukum, yang berarti bahwa Indonesia harus mempunyai kedaulatan (sovereignity)
untuk menegakan supermasi hukum, sebab salah satu syarat untuk berdirinya
negara hukum yaitu harus mengakui adanya kedaulatan. Pengakuan tersebut juga
harus dituangkan dalam konstitusi negara sebagai dasar bagi berdirinya
supermasi hukum.
Sistem
ketatanegaraan Indonesia yang menganut falsafah Demokrasi Pancasila, pokok
kedaulatan adalah di tangan rakyat, seperti yang tertuang dalam Bab I Tentang
Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
ketiga, yang menyatakan bahwa :
“Kedaulatan ada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Konsep
kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan (sovereignity) ini dalam
filsafat hukum dan kenegaraan, dikenal adanya lima ajaran teori yang biasa
diperdebatkan dalam sejarah, yaitu kedaulatan Tuhan (sovereignity of God),
kedaulatan raja (sovereignity of the King), kedaulatan hukum (sovereignity
of Law), kedaulatan rakyat (People’s sovereignity) dan ajaran
kedaulatan negara (State’s sovereignity).[19]
Hugo de Groot mengajarkan bahwa pemerintah dalam suatu negara
memperoleh kekuasaannya bukanlah dari Tuhan, Raja, negara maupun rakyat, akan
tetapi berasal dari hukum yang berlaku. Dengan demikian yang berdaulat di dalam
negara adalah hukum. Oleh karena baik pemerintah maupun rakyat memperoleh
kekuasaannya dari hukum maka mereka juga harus tunduk pada hukum.[20]
Ciri
mengenai negara hukum memiliki korelasi dengan asas demokrasi. Ditinjau dari
sudut etimologie demokrasi berasal dari perkataan Demos
berarti rakyat dan Cratein berarti
memerintah.[21]
Oleh karena itu pemahaman yang popular kata demokrasi diberikan pengertian
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Government
of the people, by the people, and for
the people).
Refleksi
dianutnya paham demokrasi dalam negara Republik Indonesia, yaitu adanya prinsip
kedaulatan rakyat (People’s sovereignity), dimana kedaulatan rakyat itu
sendiri terdapat dalam Pancasila yang merupakan dasar dan pandangan hidup
bangsa dan negara Indonesia, karena itu sudah semestinya demokrasi Indonesia
didasarkan pada Pancasila, maka lahirlah nama baru Demokrasi
Pancasila.[22]
Demokrasi
yang dianut oleh Negara Republik Indonesia adalah Demokrasi
Pancasila, yang mana
menempatkan demokrasi tersebut dalam Pancasila, sila ke empat yang berbunyi
sebagai berikut: kerakyatan yang dimpim oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan, yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan
sosial.[23]
Keseluruhan
nilai-nilai Pancasila secara konseptual, akan menjadi landasan mekanisme dan
sekaligus tujuan demokrasi Indonesia. Dengan demikian nilai-nilai Ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia merupakan arahan demokrasi Indonesia.[24]
Pelaksanaan
kedaulatan rakyat (People’s sovereignity) dalam Demokrasi Pancasila,
dilakukan melalui mekanisme perwakilan. Disini berarti bahwa kedaulatan
sepenuhnya ada di tangan rakyat, sedangkan pelaksanaannya atau realisasinya
sebagian disalurkan melalui mekanisme demokrasi perwakilan dan demokrasi
langsung.
Demokrasi
sebagai dasar kehidupan bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkat
terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai
kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan
tersebut menentukan kehidupan rakyat.[25]
Suatu
negara yang percaya pada hukum dan bahkan menjadikan gagasan demokrasi itu
sejalan dengan hukum, lazim diyakini bahwa proses reformasi kelembagaan dan
reformasi budaya politik dapat dipercayakan pada hukum sebagai instrumen
pembaruan yang efektif.[26]
Akan tetapi, karena hukum itu sendiri dapat pula dibuat dan ditafsirkan secara
sepihak oleh golongan yang berkuasa, diyakini pula bahwa hukum harus dikembangkan
dan ditegakan mengikuti norma-norma dan prosedur tertentu yang benar-benar
menjamin proses demokratisasi menuju terwujudnya negara hukum.
Bersamaan
dengan perkembangan pemikiran tentang negara demokrasi, sejarah pemikiran
kenegaraan juga mengembangkan gagasan mengenai negara hukum yang terkait dengan
gagasan kedaulatan hukum (sovereignity of Law), dimana dalam konsep ini
mengakui bahwa yang berkuasa sebenarnya bukanlah orang melainkan hukum itu
sendiri.
Pemikiran
dan praktek mengenai prinsip negara hukum (rechtstaat) ini dalam
perkembangannya, diakui adanya kelemahan dalam sistem negara hukum itu, yaitu
bahwa hukum bisa saja hanya dijadikan alat bagi orang yang berkuasa.[27]
Dalam perkembangannya muncul gagasan demokrasi yang berdasar atas hukum yang
mensyaratkan bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan menurut
prosedur demokrasi yang disepakati bersama.
Konsep
negara hukum dan negara demokrasi yang lahir sebagai saudara kembar menyusul
zaman Renaissance di Eropa telah membawa prinsip pemisahan (Separation
Of Power) atau pembagian kekuasaan (Division Of Power) kedalam
organ-organ negara tersendiri, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pembagian kekuasaan dalam tiga poros ini dimaksudkan untuk mengakhiri
absolutisme atau sistem pemerintahan yang otoriter.[28]
Sebab apabila kekuasaan terpusat pada seseorang maka kecenderungan untuk
menyalahgunakan kekuasaan semakin besar.
Seperti
kata-kata Lord Acton yang terkenal dan sering
dikutip oleh banyak penulis “power tends to corrupt and absolute power corrupts
absolutely”. (Kekuasaan cenderung untuk
menjadi sewenang-wenang, dan dalam kekuasaan yang bersifat mutlak,
kesewenang-wenangan juga cenderung mutlak).[29]
Pengembangan
teori demokrasi dalam penyelenggaraan negara diwujudkan melalui pembagian kekuasaan
dalam negara. Teori mengenai pembagian kekuasaan dalam negara pertama kali
dikemukakan oleh John Locke seorang ahli tata negara
Inggris, menurut John Locke kekuasaan negara dipisahkan menjadi kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Adanya
pemisahan kekuasaan ini dapat mencegah campur tangan (Impeachment)
antara organ-organ negara itu dalam pelaksanaan kekuasaan masing-masing,
sehingga terdapat suasana “Chek and Balance”, di mana di dalam hubungan
antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengontrol dan
mengimbangi satu sama lain,[30]
sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas
kekuasan yang telah ditentukan.
Indonesia
secara tidak tegas memisahkan kekuasaan penyelengara negara menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang dijelmakan ke dalam fungsi lembaga-lembaga negara yang
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and
balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini, maka kekuasaan negara
dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.
Fungsi
dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara
guna mencegah terjadinya proses instrumenisasi yang menempatkan hukum menjadi
alat dari kekuasaan, yang berarti juga mengingkari supremasi hukum. Dalam hal
ini keberadaan lembaga kekuasaan kehakiman (yudikatif) memegang peran penting
untuk tetap menjaga dan menegakan supremasi hukum dalam rangka untuk mewujudkan
negara hukum.
Kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.[31]
Indonesia
merupakan negara hukum, oleh karena itu maka penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan harus terjamin.
Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahakamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.[32]
Jimly
Asshiddiqie mengemukakan, bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi harus
dipisahkan, karena pada hakikatnya memang berbeda. Mahkamah Agung lebih
merupakan pengadilan keadilan (court justice), sedangkan Mahkamah Konstitusi lebih berkenaan
dengan lembaga pengadilan hukum (court of law).[33]
Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (Judicial Review), dalam
prakteknya dapat menjadi lembaga sentral bagi penegakan supremasi hukum dalam
mewujudkan Negara Hukum Republik Indonesia, sebab undang-undang yang telah
diuji tersebut akan menjadi dasar penegakan hukum bagi pembuatan peraturan
pelaksana dan kebijakan yang dibuat oleh penyelenggara negara.
F. Metode Penelitian
1.
Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif Analisis, yang
bertujuan menggambarkan tentang fakta-fakta yang didapat dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier tentang objek yang
diteliti.
2. Pendekatan
Yang Dilakukan
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara Yuridis Normatif,
yaitu metode yang menggunakan sumber-sumber data sekunder yaitu peraturan
perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana hukum
terkemuka.[34]
Dalam hal ini mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman.
3.
Pengumpulan Data
Pada
tahap ini penulis mengkaji dan menekankan pada data sekunder, yaitu data yang
didapat melalui teknik kepustakaan (Library Research). Data sekunder di
bidang hukum itu sendiri terdiri dari:[35]
a.
Bahan hukum primer, yaitu ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Mahakamah Konstitusi.
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu berupa tulisan para
sarjana dibidangnya, yang berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi
c.
Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang
memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus hukum, kamus bahasa, artikel, majalah, internet dan media cetak.
Penelitian ini dilakukan dengan cara
menginventarisasi hukum positif dengan mempelajari dan menganalisis bahan hukum
yang berkaitan dengan materi penelitian baik bahan hukum primer maupun bahan
hukum sekunder, sehingga dapat diketemukan norma hukum yang ada di masyarakat.
4.
Pengolahan Data
Data yang terkumpul melalui kegiatan
pengumpulan data diolah untuk dapat menarik kesimpulan bagi tujuan penelitian.
Teknik yang dipergunakan dalam pengolahan data primer dan data sekunder adalah
:
a.
Studi Kepustakaan, yaitu dengan mempelajari
materi-materi bacaan berupa literature, catatan-catatn, peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan bahan-bahan lainnya dalam penulisan ini.
b.
Pengamatan, yaitu mengamati objek penelitian melalui
media cetak, internet, artikel, majalah.
5.
Analisis Data
Metode analisis yang digunakan adalah analisa
kualitatif, yaitu data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder,
kemudian disusun secara sistematis, untuk selanjutnya dianalisis secara
kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas, yaitu :
a.
Peraturan prundang-undangan yang satu tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
b.
Mengacu pada hierarkhi peraturan perundang-undangan,
yaitu peraturan yang lebih rendah tinkatannya tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Mengandung
kepastian hukum, dimana peraturan tersebut harus berlaku di masyarakat
6. Lokasi Penelitian
a. Penelitian kepustakaan
dilakukan di:
1.
Perpustakaan Pusat Universitas
Pasundan Jalan Taman Sari No. 8 Bandung.
2.
Perpustakaan Fakultas Hukum
Universitas Pasundan Jalan Lengkong Besar No. 17 Bandung.
b. Pengamatan dilakukan melaui media cetak dan elektronik
G. Sistematika Penulisan
Untuk
mempermudah serta memahami masalah yang diuraikan dalam skripsi ini, maka
sistematika penulisan disusun sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab
ini diuraikan mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah, maksud
dan tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIK MENGENAI KEKUASAAN KEHAKIMAN DALAM NEGARA HUKUM
Dalam bab
ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjadi landasan teoritik penulis
dalam melakukan penulisan, yang meliputi teori negara hukum, teori kedaulatan
negara, teori demokrasi, teori kekuasaan negara, sistemcheck and balances.
BAB III
MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN
Dalam bab
ini akan diuraikan mengenai pengertian kekuasaan kehakiman, lembaga pemegang
puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia baik sebelum maupun setelah Amandemen
Undang-Undang Dasar 1945, pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, tugas
dan wewenang Mahkamah Konstitusi, susunan organisasi Mahkamah Konstitusi,
fungsi Mahkamah Konstitusi.
BAB IV
EKSISTENSI MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MEWUJUDKAN NEGARA HUKUM REPUBLIK INDONESIA
Dalam bab
ini akan diuraikan mengenai konsekuensi yuridis dari dibatalkannya Pasal 50 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi terhadap pelaksanaan Judicial
Review oleh Mahkamah Konstitusi, konsekuensi yuridis dari tidak
diintegrasikannya kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang kedalam kewenangan Mahkamah Konstitusi.
BAB V
PENUTUP
Bab ini
merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi, dan dalam bab ini akan diuraikan
tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari identifikasi masalah,
selanjutnya penulis memberikan saran-saran yang dianggap perlu dan diharapkan
dapat memberikan sumbangsih pemikiran terhadap lembaga terkait.
[1] Koento Wibisono Siswomihardjo, “Supermasi Hukum alam Negara
Demokrasi Menuju Indonesia Baru (Kajian Filosofis)”, “Wajah Hukum Di Era Reformasi (Kumpulan
Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.)”, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 150
[2] Ibid
[3] Morissan, “Hukum Tata Negara RI Era Reformasi”, Ramdina
Prakarsa, Jakarta, 2005, hlm. 56
[4] Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Komite Negara dan Perubahan UUD
1945 (artikel)”, Kompas, 11 Agustus 2000, Ibid, hlm. 56
[5] Fickar Hadjar dkk, “Pokok-pokok Pikiran dan Rancangan
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi”, KRHN dan Kemitraan, Jakarta, 2003, hlm.
3, dikutip oleh Ni’matul Huda dalam bukunya, “Politik Ketatanegaraan
Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan
UUD 1945”,FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 223
[6] Fatkhurohman, Op.Cit., hlm.
17
[7] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, “Teori Hukum dan
Konstitusi”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 68
[8] Jimly Asshiddiqie, Setahun Mahkamah Konstitusi: Refleksi Gagasan
danPenyelenggaraan Serta Setangkup Harapan”, Refly Harun, “Refleksi Satu
Tahun Mahkamah Konstitusi, Menjaga Denyut Konstitusi”, Konstitusi Press,
Jakarta, 2004, hlm. 11
[9] Muhammad Tahir Azhary, “Negara
Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini”, Bulan Bintang,
Jakarta, 2003, hlm. 89
[10] H.M. Thalhah, “Dinamika
Ketatnegaraan Indonesia di Era
Reformasi”, FH Unigoro,
Bojonegoro, 2003, hlm. 33-34
[11] O. Notohamidjojo, “Makna Negara Hukum” Badan Penerbit
Kristen, Jakarta, 1967, hlm. 12, dikutip oleh SF. Marbun, dkk, dalam buku “Dimensi-dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara”, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 7
[12] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, “Aspek-Aspek
Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia”, UII Press, Yogyakarta,
2005, hlm. 1
[13] Ni’matul Huda, “Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review”,
UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 106
[14] Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum
Bagi Rakyat Di Indonesia”, PT. Bina Ilmu, Surabaya,
1987, hlm. 72
[17] Muji Estiningsih,
“Fungsi Pengawasan DPRD”,
Penerbit Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta, 2005, hlm. 10
[18] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, “Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia”, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988,
hlm. 161
[19] Jimly Asshiddiqie, “Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 1945” , FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 33
[21] Sri Soemantri, “Tentang Lembaga Negara Menurut UUD 1945”, PT Citra Aditya Bakti, Bandung”,
1993, hlm. 1
[22] Bagir Manan, “Teori Dan Politik Konstitusi”, FH UII Press,
Yogyakarta, 2004, hlm. 150
[23] Sri Soemantri, Op.Cit., hlm.
9
[24] Bagir Manan, Op.Cit., hlm. 150
[25] Fatkhurohman, Op.Cit., hlm.
8
[26] Jimly Asshiddiqie, “Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM”, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 244
[29] Jimly Asshiddiqie, “Format Kelembbagaan Negara …”, Op.Cit.,
hlm. 37
[30] Jimly Asshiddiqie, Ibid., hlm. 239
[31] Pasal I Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi
[32] Bab IX Tentang kekuasaan
Kehakiman Pasal 24
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen
[33] Ni’matul Huda, “Negara Hukum …”, Op.Cit.,hlm. 123
[34] Ronny Hanitijo Soemitro,
“Metodologi Penelitian Hukum
dan Jurimetri”, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 1.
[35] Soejono Soekanto, “Pengantar
Penelitian Hukum”, UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 52
Komentar